Filsafat Politik: Sejarah Politik Pragmatisme
Seperti kita ketahui bahwa Filsafat politik adalah cabang filsafat yang dapat berkembang sebagai alat untuk mendefinisikan kembali konsep dan praktik politik yang telah lama dianut di Indonesia, seperti konsep negara, konsep kekuasaan, konsep otoritas, peran hukum, kedekatan dalam arti keadilan.
Artinya filsafat merupakan pedoman bagi manusia untuk menentukan sikap dan perilakunya dalam kehidupan. Ilmu politik berkaitan erat dengan filsafat politik, yaitu bagian filsafat yang berkaitan dengan kehidupan politik, terutama yang berkaitan dengan hakikat, asal-usul, dan nilai negara.
Nah, dari peletakan dasar itu, filsafat politik sendiri melahirkan berbagai konsep politik atau paham politik yang digunakan oleh masyarakat dunia pada praktik politik itu sendiri. Salah satu yang merajalela dalam dinamika politik akhir-akhir ini ialah Filsafat Pragmatisme.
Asal Muasal Politik Pragmatisme
Kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma” yang berarti tingkah laku atau perbuatan. “isme” di sini artinya sama dengan isme lainnya, yaitu merujuk pada mazhab atau ajaran atau paham. Jadi, pragmatisme berarti: Menekankan doktrin bahwa pemikiran mengikuti tindakan.
Menurut Wikipedia, pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran segala sesuatu didasarkan pada manfaat yang diberikannya. Hal ini dinilai dari kegunaannya bagi tindakan seumur hidup manusia. Pernyataan dapat berupa ceramah, proposisi atau teori.
Pragmatisme sendiri merupakan gerakan filsafat modern yang dimulai di Amerika oleh CS Peirce yang diilhami oleh Immanuel Kant. Pragmatisme dikembangkan melalui pemikiran beberapa tokoh seperti John Locke, George Berkeley, David Hume, William James, dan John Dewey. Pragmatisme berpandangan bahwa kebenaran, makna, dan nilai suatu gagasan harus didasarkan pada aspek-aspek praktis.
Nah berdasarkan asumsi tersebut, dapat diasumsikan bahwa konsep politik
Pragmatisme adalah tentang menggunakan politik sebagai sarana untuk mencapai kepentingan dan kepentingan pribadi. Artinya, bisa saja pemimpin yang kemudian dihasilkan melalui politik pragmatis akan menghasilkan pemimpin yang liberal,sebaliknya pemimpin yang dihasilkan melalui politik ideologis akan menghasilkan pemimpin yang ideologis.
Hal ini karena pragmatisme merupakan sifat atau sifat orang yang cenderung berpikir praktis dan tergolong sempit. dimana kekinian orang dengan sifat praktis ini menginginkan segala sesuatu yang dilakukan atau diharapkan segera terwujud tanpa memikirkannya dalam waktu lama atau melalui proses yang panjang.
Akibat dari itu menurunnya peran ideologi politik sebagai dasar nilai keadilan yang harus dirujuk oleh masyarakat dan partai dalam kehidupan politik, baik dari segi strategi maupun perilaku. Beberapa momen politik penting seperti pemilu legislatif, pemilu presiden, pembentukan pemerintahan koalisi terlihat besar perilaku pemerintah dalam Pilpres, Pilkada maupun Pileg semakin menunjukkan pengaruh pragmatisme. Dengan demikian semakin meminggirkan ideologi politik yang berkiblat pada nilai yang bertujuan melahirkan keadilan dan kepentingan berbasiskan rakyat.
Realita ini juga ditunjukkan dengan semakin tidak relevannya perspektif ideologis dalam mengamati dan menjelaskan keberadaan dan perilaku partai politik. Bahwa ternyata aktivitas sebagian besar partai politik saat ini ditentukan semata-mata oleh kepentingan pragmatis.
Sejalan dengan itu, Politik Pragmatisme menurut Dosen FISIP dan Mahasiswa Pascasarjana Undiknas Nyoman Subanda, mengatakan bahwa, "Politik pragmatisme adalah kebalikan mendasar dari konsep idealisme. Jika idealisme didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika atau
Politik yang dilandasi oleh kebenaran, kesusilaan, kejujuran, dan nilai-nilai etika politik lainnya".
Kemudian politik pragmatisme datang dengan mengalihkan pada realitas sosial yang ada, seperti kepentingan, dan kondisi yang dialami masyarakat. Dengan demikian, pragmatisme mengarah pada politik komersialisasi di mana hukum pasar ditegakkan secara politis. Dan di zaman pragmatisme politik Pragmatisme ini, penawaran dan permintaan telah menjadi moto setiap peristiwa politik.
Terakhir menurut hemat saya, meskipun politik pragmatisme tidak dilarang dan sah-sah saja sebagai bentuk pertanda bahwa eksisnya atau berkembangnya demokrasi dalam satu negara. Akan tetapi sangat disayangkan bila kita larut dalam dinamika seperti itu, karena berpotensi berdampak pada pelaksanaan jabatan dan fungsi pelayanan. Terlebih yang memperihatinkan ialah sistem kontrol dalam kepartaian terkait penanaman pemahaman ideologi politik yang merakyat juga ikut hanyut dinamika ini.
Kita cuma bisa berharap pemilu serentak di tahun 2024 akan membawa perubahan dalam cara pandang dan konsep penilaian dalam hal politiknya tidak berasaskan pemikiran pragmatisme, dan harapan kepada partai-partai politik untuk mampu menjadi cerobong pemahaman ideologi politik yang berbasis pada kepentingan bersama bukan hanya pada kepentingan kelompok, maupun kepentingan pribadi.
Thanks
0 Response to "Filsafat Politik: Sejarah Politik Pragmatisme"
Post a Comment