Buya Hamka dan Pemikiran Filsafatnya
Kita tentu pernah berpikir, mungkin juga kita pernah bertanya, apakah ada manusia Indonesia yang diakui sebagai seorang filosof? Dan bilamana ada siapa saja mereka? Apa pemikiran yang dibawahnya? Ada berapa banyakkah mereka? Masih hidupkah atau telah wafat para filosof itu?.
Nah dari pertanyaan-pertanyaan itu maka kami berniat menuliskan pembahasan ini dengan menampilkan beberapa filosof Indonesia. Salah satunya yakni yang kita kenal dengan nama Buya Hamka. Berikut uraian singkatnya.
Prof, Dr. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka adalah seorang Ulama, Filsuf, Sastrawan, Aktivis, Politikus, Penyair, Jurnalis dan Guru yang lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Sungai Batang Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat, meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli , 1981 pada usia 73 tahun.
Di sebagian awal hidupnya ia habiskan sebagai jurnalis, penulis, dan guru. Ia juga pernah terlibat gejolak politik melalui Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan, menjabat sebagai ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan tetap aktif di Muhamadiyah hingga akhir hayatnya.
Kemudian Universitas Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia memberinya gelar doktor kehormatan, dan Universitas Moestopo di Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disandang Universitas Muhammadiyah Ham Kamili dan masuk dalam daftar pahlawan nasional Indonesia.
Di balik liku-liku kehidupan pribadinya. Buya Hamka dikenal sebagai sosok yang kemampuan otodidaknya sangat tinggi. Selain mempelajari kitab-kitab Islam karya ulama ternama, dam melakukan penelitian mendalam terhadap karya-karya para filosof Barat klasik dan modern. Misalnya saja pemikiran-pemikiran para filosof Socrates, Aristoteles, Plato dan filosof Cina Tao dijadikan bahan perbandingan ketika membahas persoalan-persoalan keislaman.
Filsafat merupakan aspek kajian dan pemikiran yang unik dalam diri Buya Hamka. Dengan bahan referensi yang luas tentang topik-topik kajian filsafat. Buya Hamka tidak segan-segan mengkaji persoalan apapun dari sudut pandang filosofis, termasuk persoalan agama Islam.
Terbukti dalam salah satu karyanya yang berjudul “Pelajaran agama Islam, 1956”. Buya Hamka membahas dan menjelaskan rukun iman secara sederhana dari sudut pandang filosofis. Salah satu kutipan yang terdapat dalam kata pengantar buku ini adalah sebagai berikut.
“Selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW, peradaban Islam dihadapkan pada berbagai gagasan filosofis dari dunia luar.” Oleh karena itu, atas dasar inilah para cendekiawan Muslim terdorong untuk menerjemahkan berbagai karya filsafat Yunani. Namun perjumpaan dengan filsafat justru membuat sebagian umat Islam meragukan agamanya sendiri.
Dengan demikian, seorang Buya Hamka memposisikan dirinya sebagai orang yang berusaha melahirkan ide-ide filosofisnya sendiri, namun juga sebagai seorang intelektual yang terlibat aktif dalam penggunaan metode-metode filosofis untuk membela agama Islam dari serangan-serangan filosofis. Selain itu, ia menggunakan filosofinya sebagai alat untuk memahami dan memberikan perspektif tentang situasi saat ini pada zamannya.
Selebihnya menurut Buya Hamka, manusia tidak bisa menghindari filsafat karena adanya akal dan pemikiran manusia, sehingga manusia disebut makhluk rasional, maka dari itu manusia harus memikirkan hakikat segala sesuatu yang dapat diamati. Dan karena adanya emosi dalam hati manusia, niscaya manusia dapat merasakan indahnya segala keteraturan di alam semesta. dengan cara itu manusia menemukan Tuhan dengan kata lain filsafat tidak bisa melepaskan agama (Tuhan)
Berkaca pada pandangan-pandangannya di atas membuktikan bahwa Buya Hamka lebih dari sekedar ulama yang matang dalam persoalan agama. Namun isu-isu lain seperti filsafat juga menjadi bagian dari pemikirannya, yang ia ungkapkan dalam banyak buku dan tulisan.
Kemampuannya di bidang filsafat membuat Hamka mampu melihat secara elegan perubahan pemahaman dunia dan peradaban dalam konsep-konsep pamungkas yang ada dalam agama.
Pada akhirnya yang terlihat dalam perjalanan intelektualnya, dan setelah berhasil memadukan dua unsur dalam proses berfikir nya, maka menunjukkan bahwa corak dari pemikiran Buya Hamka yakni berfikir secara rasionalis-Modernis. Sebaliknya mengenai corak dakwahnya dikatakan bahwa Buya Hamka memilih metode Dakwah Kultural.
Adapun erbagai karya Buya Hamka yang memperlihatkan ia sebagai cendekiawan muslim, seorang filsuf Indonesia antara lain dibawah ini: Tafsir Al-Azhar 1965), Filsafat Hidup (1940), Filsafat Tuhan, Tasawuf Modern (1939), Lembaga Kehidupan (1955), Pandangan Hidup Muslim (1961), Kursus Keagamaan Islam (1956 ) ), Keadilan Ilahi (1962) ), Sejarah Umat Islam, Buya Hamka berbicara tentang perempuan.
0 Response to "Buya Hamka dan Pemikiran Filsafatnya"
Post a Comment