Konsep Negara dan Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Habib al-Mawardi (972 M – 448 M) adalah seorang ahli hukum Syariah Irak. Hidup pada zaman Khalifah Qadir, pemimpin ke-25 Dinasti Abbasiyah.
Tepatnya ia lahir di kota Basra, Irak, tempat ia belajar Islam dari Abu Wahid al-Simari, dan kemudian pindah ke Bagdad untuk belajar dengan Syekh Abdul Hamid dan Syekh Abdullah al-Bazi belajar. Karya-karyanya yang terkenal antara lain “Buku al-Ahkam al-Sultania” (buku tentang pemerintahan), “Qanun al-Wazarah” (undang-undang tentang kementerian) dan “Buku Nasihat al-Mulk” (berisi nasehat kepada penguasa).
Nah disini kita akan membaca dan atau mengungkap sedikit konsep dan pemikiran al-Mawardi dalam hal ini yang berkaitan dengan Konsep Negara dan Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar pada tiga karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Namun,
Para ahli ekonomi Islam sepakat bahwa al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam mewakili pokok-pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi.
Dalam catatan sejarahnya, kitab ini ditulis oleh al-Mawardi pada paruh pertama abad ke-5 Hijriah. Namun kitab al-ahkam as-sulthaniyyah ditulis secara sistematis dan runtut serta bagian utama kitabnya membahas masalah perpajakan, masalah pengelolaan pertanahan, bidang belanja negara dan masalah keuangan terkait lainnya.
Salah satu bab dalam buku tersebut membahas permasalahan pemerintahan dan tata cara administrasi, pengawasan pasar, sistem mata uang, pertanian dan lain sebagainya. Dimana pada aspek administrasi keuangan, al-Mawardi banyak mengambil pandangan dari mazhab Hanafi dan Maliki serta Syafi’i sebagai mazhabnya.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran ekonomi al-Mawardi yang turut berkontribusi
Perkembangan ekonomi Islam meliputi:
1. Negara dan Kegiatan Ekonomi
Al-Mawardi menegaskan, kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen kelanjutan misi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengelolaan dunia merupakan dua kegiatan yang berbeda, namun saling berkaitan secara simbiosis.
Dimana keduanya merupakan dua dimensi misi profetik. Oleh karena itu, menurutnya, lembaga Imamah yang mengatur kepemimpinan politik dan agama adalah fardhu kifayah berdasarkan konsensus para ulama.
Dengan demikian, negara berperan aktif dalam mewujudkan tujuan material dan spiritual. Merupakan kewajiban moral bagi penguasa untuk membantu mewujudkan kebaikan bersama, yaitu menjaga kepentingan masyarakat dan menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan tujuan pokok negara telah ditentukan oleh Al-Quran. Dimana Ayat suci Al-Quran menekankan kemudahan dan penghapusan kesulitan, menciptakan kesejahteraan, menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang, serta menjamin penghapusan kerusakan moral, kelaparan dan tekanan mental.
Menurut Al-Mawardi, negara berkewajiban mengatur dan membiayai pengeluaran yang diperlukan oleh pelayanan publik karena tidak mungkin setiap individu membiayai pelayanan tersebut.
Itu. Dengan demikian pelayanan publik merupakan kewajiban sosial (fardh kifayah) dan harus bertumpu pada kepentingan umum. Hal ini penting karena merupakan tugas negara. Selain itu, tugas negara lainnya adalah sebagai berikut:
1. Melindungi agama
2. Menjunjung tinggi hukum dan stabilitas,
3. Menjaga batas-batas negara Islam,
4. Memberikan iklim perekonomian yang kondusif
5. Menyelenggarakan penyelenggaraan pemerintahan, keadilan, dan penerapan hukum Islam
6. Mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia dan meningkatkannya
dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya, dan
7. Menghabiskan dana Baitul Maal untuk berbagai keperluan yang sudah jadi
kewajibannya.
Sedangkan tugas pokok seorang penguasa terhadap rakyatnya menurut Al-Mawardi adalah sebagai berikut:
1, menjaga agama dan mengikuti apa yang telah disepakati oleh para ulama sebelumnya.
2, melaksanakan hukum antara dua pihak yang berkonflik dengan tujuan menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
3, Mengawal negara dan
mencegah perpecahan. Hal ini agar masyarakat bebas mencari nafkah, bekerja dan menjalankan kewajibannya dengan aman. Benar-benar menjamin keamanan di dalam negeri.
4, melaksanakan hukuman hudud dalam rangka melindungi terhadap pelanggaran hukum Allah, serta melindungi hak-hak hamba dari kerusakkan dan kehancuran. Menerapkan secara tegas semua sanksi hukum pidana.
5, mengawal dan menjaga perbatasan dengan
persiapan yang cukup, agar musuh tidak dapat menyerang kaum muslimin secara tiba-tiba.
6, berjihad melawan musuh setelah diberi dakwah agar mereka masuk Islam atau menjadi dhimmi.
7, memungut cukai alFai dan zakat sesuai ketentuan syara' baik secara nash maupun ijtihadi, tanpa perasaan
Takut.
8. menentukan pemberian dari Baitul Mal dengan tepat dan memberikannya kepada yang berhak pada waktunya.
9, mengangkat pegawai yang cakap, disiplin, dan amanah agar tugas dapat diselesaikan dengan baik dan harta kekayaan dapat terjamin.
10, biarlah Imam sendiri yang memeriksa semua persoalan dan menilai keadaannya.
Jadi, kondisi ini berguna agar politik masyarakat bisa maju dan agama tetap terjaga.
Sebab tugas dan tanggung jawab negara dan penguasa sangatlah besar, yakni mewujudkan kesejahteraan dan pemenuhan ekonomi secara merata bagi rakyatnya. Jadi, negara harus mempunyai sumber pendapatan keuangan yang dapat menunjang pelaksanaan tanggung jawab tersebut seperti zakat, ghanimah, kharaj,
jizyah, dan ushr.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa, negara diperbolehkan mengenakan pajak baru atau memberikan pinjaman kepada masyarakat jika sumber pendapatannya tidak mampu memenuhi kebutuhan anggaran negara atau terjadi defisit anggaran.
Dalam konteks ini, Mawardi mengatakan, selama kepala negara menjalankan tugasnya dengan baik, maka rakyat wajib menaatinya. Kewajiban ketaatan ini tidak hanya berlaku bagi kepala negara tetapi juga bagi mereka yang jahat.
Hal ini sejalan dengan surat al-Nisa ayat 4 yang mewajibkan umat Islam untuk menaati Tuhan, Rasul-Nya dan Penguasa. Ditambah lagi dengan hadis Nabi SAW yang bersabda: 'Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai dengan kebenaran, jika mereka baik maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi bila mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kamu dan kejahatannya akan kembali kepada mereka'.
Oleh karena itu, Mavardi tidak menutup kemungkinan seorang Muslim bisa durhaka kepada kepala negara jika melakukan salah satu dari tiga hal berikut:
Itu adalah :
1. Menyimpang dari keadilan (melakukan kejahatan). Hal ini terlihat dari kecenderungan kepala negara yang menuruti hawa nafsu (syahwat), seperti melakukan perbuatan jahat yang dilarang agama dan melakukan hal-hal yang patut dipertanyakan. Perbuatan tersebut merusak kredibilitas Kepala Negara sebagai pemimpin dan mengangkatnya
Tidak layak untuk disajikan lagi.
2. Hilangnya fungsi salah satu organ tubuh, seperti hilangnya fungsi panca indera, cacat anggota tubuh, hilangnya kemampuan melanggar hukum.
3. Dikuasai kroni atau ditangkap musuh. Dalam hal ini, jika kepala negara dikendalikan oleh orang terdekatnya, ada dua kemungkinan konsekuensinya. Namun jika orang-orang disekitarnya menguasainya tetapi tetap berbuat baik dan tidak merugikan rakyat, maka kepala negara tetap menjabat. Sebaliknya apabila perbuatan dan perbuatan orang disekitarnya menyimpang dari agama dan keadilan, maka harus dihukum. Saat ditangkap musuh, umat Islam harus segera mencari penggantinya untuk menjalankan pemerintahan guna menghindari kekosongan politik.
0 Response to "Konsep Negara dan Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi"
Post a Comment